Boru apa? Boru Simatupang!
Sebagai perempuan keturunan Cina yang mau nikah dengan laki-laki dari keturunan Batak, maka saya wajib dijadikan warga Batak dan diberikan sebuah marga. Marga yang diberikan tentunya tidak bisa sembarangan mungut di pinggir jalan, tapi harus dipilih sesuai dengan silsilah keluarga dari calon suami saya. Biasanya, marga yang dipilih adalah marga dari keluarga Ibu calon suami saya sehingga saya menjadi pariban atau sepupu yang bisa dinikahkan. Tapi setelah melalui perjalanan ke Arse – kampung calon suami saya – yang jaraknya 13 jam dari Medan itu, dimana kami mengunjungi makam leluhur Irwanda (calon suami), maka calon mertua saya memutuskan untuk mengambil marga dari keluarga Opung Boru-nya (a.k.a Opung Perempuan). Marga dari keluarga Irwanda adalah Sarumpaet Hutahaean, dimana Opung Boru dari calon mertua laki-laki saya adalah marga Simatupang Siburian. Setelah dipilih marga yang sesuai, maka akan dipilihkan keluarga dari marga tersebut yang bisa dan mau dijadikan orang tua angkat saya.
Prosesi ini disebut dengan Mangain dan dilakukan di rumah calon orang tua angkat saya pada tanggal 8 Juli 2012. Orang tua kandung saya pun hadir untuk menyaksikan, didampingi oleh adik dan Om saya. Keluarga Irwanda tentunya hadir juga, didampingi oleh Uda (paman) dan Inang Uda (istri paman) dari Irwanda, sebagai kerabat yang punya hubungan dekat dengan calon orang tua angkat saya. Acara ini dipandu oleh 2 orang Raja Parhata (juru bicara) yang mewakili masing-masing marga dan menggunakan bahasa Batak (Walhasil, saya dan keluarga sering terlihat bengong karena engga ngerti bahasanya secuil pun).
Sebagai bagian dari adat kampung kedua marga yaitu daerah Sipirok, disuguhkanlah kepala kambing yang sudah dimasak. Keluarga Sarumpaet membagikan sirih dan sarung kepada keluarga Simatupang, dimana orang tua kandung saya pun termasuk di dalamnya. Sebagai momen saya disahkan sebagai anak, kedua orang tua angkat saya menyuapi saya dengan nasi berlauk ikan mas dimasak arsik (salah satu makanan tradisi dalam setiap acara adat Batak) dan menyelimuti saya dengan Ulos. Resmi deh saya jadi orang Batak dengan marga Simatupang Siburian.
Setelah acara Mangain selesai, dilanjutkan dengan acara Pudun Saut atau kesepakatan mengenai acara pernikahan nantinya. Dalam acara ini antara lain membahas mengenai Sinamot (emas kawin) dan Ulos yang akan dibagikan di dalam acara pernikahan adat. Untuk memulainya, disuguhkanlah kepala babi yang sudah dimasak dan ikan mas arsik yang diberikan oleh keluarga Paranak (laki-laki) kepada keluarga Parboru (perempuan). Kemudian, Raja Parhata akan memandu seluruh keluarga untuk menyentuh mangkok berisi kepala babi itu dan mengucapkan beberapa kalimat dalam bahasa Batak yang memohon agar diberikan berkat oleh Tuhan. Sebagai lambang dari Sinamot, keluarga Paranak memberikan sejumlah uang yang diletakkan di atas piring yang sudah berisi beras dan diserahkan kepada keluarga Parboru. Lalu, keluarga membagikan uang sebesar Rp 5.000 kepada semua tamu yang hadir, dengan tujuan untuk mengingatkan bahwa pada tanggal 20 Oktober nanti akan ada pernikahan kami. Prosesi itu disebut dengan Ingot-Ingot. Acara ditutup dengan dibacakannya detail mengenai acara pernikahan adat yang akan dilaksanakan nanti, disebarkannya beras ke udara dan semua orang ikut berteriak,”Ingot Ingot! Horas!”
Ada beberapa kejadian yang cukup lucu selama persiapan dan selama berlangsungnya acara, karena adanya perbedaan kultur. Di awal acara, Raja Parhata dari keluarga Simatupang masih berbaik hati untuk translate bahasa Batak ke dalam bahasa Indonesia supaya keluarga saya ngerti. Lama-lama mereka semakin tenggelam dalam keseruannya sendiri, akhirnya keluarga saya cuma bisa bengong sambil ngekor apapun yang dilakukan oleh mereka. Salah satu kejadian yang menurut saya juga lucu adalah ketika Uda dari Irwanda melarang Om saya untuk membantu mengangkat mangkok makanan sebelum acara dimulai. Dengan muka bingung sambil cengar cengir, Om saya meletakkan kembali mangkoknya, karena takut salah bersikap. Penjelasannya adalah, Om saya yang ikut mendampingi ini adalah adik kandung dari ibu saya atau disebut Tulang. Di dalam adat Batak, keluarga perempuan berposisi sebagai Hula-Hula atau yang dirajakan/dihormati. Tulang memiliki posisi yang penting karena dia berasal dari keluarga perempuan dan merupakan saudara kandung dari Ibu. Sehingga di setiap acara adat Batak, Hula-hula tidak boleh bekerja dan hanya boleh duduk manis. Nah di acara ini, keluarga saya kan posisinya sebagai Hula-Hula dari keluarga Irwanda, sementara Om saya itu adalah Hula-Hula dari keluarga saya. Jadi ibaratnya, dia berposisi 2 tingkat di atas keluarga Irwanda pada acara ini. Makanya langsung dilarang ikutan repot, soalnya Uda-nya takut diomelin kalau ada orang Batak lain yang melihat Hula-Hulanya ikutan kerja :).
Kata papi saya, saya pemegang rekor dalam keluarga kami, karena baru kali ini ada anggota keluarga kami yang akan menikah dengan orang Batak dan melalui berbagai proses adat Batak. Sekarang saya punya keluarga baru :). Punya Bapak dan Mamah baru dan punya 3 orang saudara baru :). Semoga Tuhan selalu memberikan jalan supaya keluarga baru saya ini akan tetap menjadi keluarga saya selamanya.
*informasi mengenai runutan dan detail dalam acara ini mungkin saja salah, karena adanya keterbatasan dalam bahasa selama acara dilangsungkan
sumber : https://coffeeciggy.wordpress.com/2012/07/09/226/
0 Response to "Boru apa? Boru Simatupang!"
Post a Comment
hutasimatupang.org tidak bertanggung jawab atas isi komentar yang ditulis. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE